Home Top Ad

Responsive Ads Here

Ancaman Eksekusi Mempermainkan Honor Karyawan Berdasarkan Islam

Share:
Hingga ketika ini masih saja banyak seorang bos, majikan, pimpinan perusahaan, pemilik daerah perjuangan dan lain lain, yang masih saja lalai, sengaja, pura pura tidak tau, atau merasa berkuasa atas karyawannya, suka menggantung honor atau upah karyawannya, ada yang telat lantaran memang berbenturan dengan hari libur atau, ada juga yang nunggu ditanyakan atau terkadang memang merasa dialah yang berkuasa. Tapi tahu tidak setiap perbuatan ada balasannya, menyerupai menunda nunda upah seseorang yakni termasuk perbuatan yang merugikan seseorang karyawan, pekerja, kuli atau juga pekerja lepas. Coba baca artikel ini semoga hati anda teringat akan beratnya bahaya menunda honor seseorang berdasarkan Islam.

Ilustrasi: tangisan istri seorang pekerja yang gajinya dipermainkan majikan, bos besar alias orang zalim.

Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

 ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, lalu berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), lalu memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak menunjukkan upahnya.”
Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhiallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”

Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran honor pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan bahaya yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab. Di antara bentuk kezalimannya yakni tidak menunjukkan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak mempunyai bukti.

Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya menunjukkan honor pokok saja tanpa membayar pekerjaan komplemen atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran honor dan tidak memberikannya kecuali dengan perjuangan keras para pekerja dengan tujuan biar para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud memakai upah pekerja tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak mempunyai materi masakan untuk diri dan keluarganya.

Termasuk kategori dosa besar yakni melarang orang-orang memanfaatkan sesuatu yang boleh dipakai oleh mereka baik secara umum ataupun khusus, seperti: tanah tak bertuan yang siapapun boleh memilikinya, jalan, masjid, tanah wakaf untuk orang miskin, dan barang tambang yang tidak tampak maupun yang tampak. Maka, bila ada seseorang yang melarang orang lain untuk memanfaatkannya, maka hal itu merupakan bentuk dosa besar, lantaran serupa dengan tindakan ghashab. Orang menyerupai ini, layaknya seseorang yang melarang orang lain untuk memilikinya. Sebab, orang yang berhak memanfaatkan sesuatu, maka ia juga berhak untuk memilikinya. Sebagaimana menahan hak milik seseorang termasuk dosa besar, maka perbuatan menyerupai ini pun hukumnya sama. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan Al-Haitsami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir (I/263).

Dalam sebuah hadits disebutkan:

مِنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, Nasai dan Tirmidzi, hadits hasan)
Nasai juga meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban yang berbunyi,

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ, وَمَأَكَلَتِ الْعَوَافِي مِنْهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka akan mendapat pahala. Dan, apa yang dimakan oleh burung dan hewan buas, maka itu merupakan sedekah baginya.”
Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Hasan bin Samurah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam, dia bersabda,

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang memberi tanda di bumi (yang tidak ada pemiliknya), maka bumi itu menjadi miliknya.”

Para ulama telah setuju sebenarnya orang yang menghidupkan tanah (yang tidak ada pemiliknya) merupakan alasannya yakni kepemilikan. Kebanyakan dari mereka tidak mensyaratkan adanya izin dari hakim. Hanya saja, sebaiknya tanah tersebut jauh dari keramaian, sehingga tidak ada yang memilikinya. Ada yang berpendapat, bahwa barangsiapa yang menunjukkan tanda atau memberi garis pembatas (pada tanah yang tak ada pemiliknya), lalu ia tidak merawatnya dengan diolah, maka setelah tiga tahun gugurlah kepemilikannya.

Jika ada seseorang yang merawat suatu daerah dengan prasangka daerah tersebut tidak ada pemiliknya, lalu tiba seseorang yang mengakui bahwa daerah tersebut yakni miliknya, maka ada dua pilihan; orang yang meramaikan daerah tersebut mengembalikan kepada pemiliknya, setelah ia mengambil bayaran dari pemilik atas apa yang ia lakukan; atau kepemilikan tanah tersebut menjadi miliknya setelah ia membayar harganya.

Inilah yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Diperbolehkan bagi hakim yang adil untuk menunjukkan kepemilikan seseorang baik dari kepemilikan tanah, pertambangan dan sumur selama di dalamnya terdapat kebaikan. Namun, hal ini tidak diperbolehkan jikalau alasannya lantaran faktor ia bahagia kepada orang tersebut. Dalam sejumlah atsar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam dan para Khulafaur Rasyidin serta orang-orang sesudahnya menunjukkan tanah kepada sekelompok orang. Akan tetapi, jikalau hal tersebut tidak ada keuntungannya dengan tidak dirawatnya tanah tersebut, maka pemberiannya tersebut sanggup dicabut kembali.

Sumber: Halal Haram dalam Bisnis Kontemporer, Dr. Sa’id Abdul Azhim, Al-Qowam
Postingan orisinil : http://pengusahamuslim.com, di tulis ulang admin blog ini. ( RR ).

No comments